Nampaknya musim penghujan belum berakhir,
diluar hujan turun dengan intesitas lumayan deras…dan cara terbaik untuk
menikmati hujan sore ini adalah dengan menghabiskan waktu untuk menulis (^.^)v
Sebagai seseorang yang tinggal dan besar di
sebuah kampung, aku terbiasa mendengar berbagai macam kabar sedap dan
tidak sedap tersebar cepat. Seperti hari minggu kemarin, kabar kalau seorang
anak perempuan dari RT seberang akan menikah tersebar luas sementara tidak ada
undangan yang tersebar. Niat pernikahan diam-diam tak urung hanyalah sebuah
niat tak kesampaian, toh orang lebih cepat tahu hal yang demikian. Si perempuan
belia yang belum genap 17 tahun itu terpaksa meninggalkan bangku sekolahnya
karena terlanjur hamil . Dan setelah diruntut, 1 atau 2 tahun lalu teman
sepermainan atau mungkin sahabat si perempuan tadi juga mengalami hal yang
sama. Fenomena seperti ini sudah bukan hal yang baru, namun tetap saja
membuatku spontan berkomentar, “Kok bisa? emang dia ngapain aja?” (nanya’nya
dengan ekspresi lugu,padahal jelas-jelas tahu jawabannya).
Ada juga cerita seorang perempuan yang
lain, sebut aja X. X ini hamil beberapa bulan sementara pacarnya tidak bersedia
bertanggung jawab, dan membuatku miris mendengar ceritanya.
Semua yang mendengar kejadian ini akan
berkata, “Salah mereka sendiri..bla..bla..blaa…”
Memang si perempuan belia tadi, juga
sahabatnya, dan si X telah melakukan kesalahan yang membuat mereka harus
menanggung sebuah konsekuensi yang rumit atas perbuatannya tetapi pernahkah
terlintas dalam benak kita bahwa apa yang terjadi atas diri mereka adalah
karena mereka tidak mengerti konsep sebuah hubungan yang benar?sedangkan
ditengah ketidaktahuannya mereka tidak memiliki tempat untuk bertanya dan
mendapat jawaban yang benar sehingga mereka cenderung mencari kebenaran itu
dari lingkungan pertemanan mereka dan media-media lain.
Semasa pacaran, si X tadi banyak curhat
dengan rekan kerjanya yang dianggap lebih berpengalaman makan asam garam
kehidupan..sayangnya nasehat yang didapat si X berbunyi seperti ini, “jaman
sekarang kalo pacaran itu nggak sama dengan jaman dulu, jamanku dulu gandengan
tangan aja nggak boleh tapi sekarang
nggak masalah kalo kamu mau “ngapa-ngapain” itu baru gaul.”
Aku pribadi pernah sharing dengan teman beberapa
tahun lalu, lantas dia bilang seperti ini, “Prinsipnya selama pacaran kamu
bolehlah memberikan lebih asal nggak semuanya ( artinya asal kamu tetap menjaga
keperawanan).” dan waktu itu jujur aku percaya dan setuju-setuju aja, apalagi
yang ngomong ini saudara seiman *garuk kepala*. Untung cuma sebatas setuju lewat omongan aja, nggak dalam sikap.
Kitapun nggak bisa menolak visualisasi yang
ditawarkan media hiburan, setiap film yang diputar selalu membubuhkan adegan
romantis mulai dari bergandengan tangan, meningkat ke pelukan, cium pipi, cium
kening dan seterusnya. Jalan cerita
sinetron juga dibumbui dengan kisah jatuh cinta ala ABG, anak-anak berseragam
putih biru yang lebih sibuk mengejar-ngejar lawan jenisnya menggunakan berbagai
cara, malah nggak fokus dengan pendidikan.
Kesimpulan yang muncul di benak mereka jadinya
: pacaran itu hubungan antara perempuan dan laki-laki, yang
didalamnya termasuk melakukan hal-hal yang sifatnya mengandung sentuhan fisik
asal nggak kebablasan. Fufufu…>.<
Benarkah demikian?
Sewaktu aku belum mengerti kebenaran Firman
Tuhan aku menerima kesimpulan itu sebagai hal yang paling benar, namun sekarang
lain lagi ceritanya. Pas jaman pelajaran agama di sekolah sih udah diajarin
bahwa pacaran itu adalah satu fase sebelum memasuki jenjang pernikahan.
Teorinya gitu dan murid sekelas tahu cuman dalam prakteknya jauuh dari teori,
mikirnya malah kalo nggak punya pacar berarti nggak laku, kesepian, nggak seruàujung-ujungnya berlomba mencari pacar hanya untuk memenuhi tuntutan
bukan untuk tujuan yang benar di hadapan Tuhan. Lantas kebanyakan cewek, punya
pemikiran jika dia memberikan apa yang
diinginkan pria dalam hal kepuasan fisik,pasti dia akan mendapatkan kasihnya
selamanya (ini ada dibuku Lady in Waiting). Nggak apa-apa berpelukan, nggak
apa-apa berciuman daripada ntar nggak mau malah diputus dan ditinggalkan, padahal
udah cinta banget. Setelah berkompromi dengan kata nggak apa-apa malah jadi
penasaran, ingin tahu dan mencoba lebih dalam lagi, begitu sadar terlambat
sudah.
Satu tindakan fisik berdasarkan rasa suka
bukannya melekatkan kasih mereka, tetapi justru menghancurkannya (Lady in
Waiting, hal 90). Tuhan mau anak-anakNya menjaga kekudusan dirinya karena tubuh
kita adalah bait Allah, dan kekudusan itu lebih dari sekedar keperawanan/
keperjakaan loh. Kekudusan itu berbicara soal bagaimana hidup kita di mata
Tuhan. Nah, seandainya kita berkompromi dengan hal yang tidak kudus lantas menutupinya dengan
dalih kan yang penting nggak
kebablasan?tetap aja itu tidak benar di mata Tuhan.
So, berhati-hatilah dalam memilih pergaulan
karena dengan siapa kita bergaul itu menentukan perilaku kita. Bertanyalah pada
orang-orang yang memiliki otoritas yang benar, bukan yang asal cukup usia untuk
memberi nasehat, ibarat bertanya arah ke orang yang salah akhirnya malah kesasar
:p. Setiap nasehat yang kita dapatkan juga harus diuji nggak asal diterima dan
dilakukan, pertimbangkan dengan baik nilai kebenarannya.
Amsal 18 : 24
“Ada
teman yang mendatangkan kecelakaan, tetapi ada juga sahabat yang lebih
karib dari pada seorang saudara.”
1 Korintus 15 : 33
“ Janganlah kamu sesat; Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan
yang baik.”
Kedua, Sebagai seorang cewek (cowok juga) adalah
penting buat kita menjaga diri kita dengan baik. Ada konsekuensi yang lebih
rumit yang mesti dibayar dan itu nggak sebanding dengan kenikmatan sesaat yang
didapatkan. Jika akhirnya seperti perempuan belia tadi, pikirkanlah betapa
banyak yang harus dia tanggung?pernikahan mungkin menyelesaikan sedikit
masalah, tetapi siapkah dia menanggung beban rumah tangga pada usia belia tanpa
bekal ijasah yang memadai dan pekerjaan?Ada banyak masalah lain menanti
didepan, sudah siapkah kamu?. Belum tentu pula seseorang yang menerima
segala-galanya darimu akan menjadi suami/istri di masa depan, seperti yang
dialami si X.
Perasaan kasih itu tidak hanya diungkapkan
lewat kedekatan fisik yang sembrono sebelum dua orang menikah, perasaan itu
bisa diungkapkan dalam pengendalian diri, kesabaran.
Lalu, pacaran itu ngapain sih?
Hubungan lawan jenis tidak lagi merupakan
“menikmati saat-saat indah” atau mempelajari apa yang aku inginkan dalam sebuah
hubungan. Hubungan itu bukan lagi tentang mendapatkan, tetapi memberi. Setiap
hubungan (terutama untuk anak Tuhan) merupakan sebuah kesempatan untuk
mengasihi orang lain seperti Allah mengasihi kita. Mengesampingkan
keinginan-keinginan kita dan melakukan apa yang diinginkan oleh pasangan kita.
Mengasihi dia bahkan walaupun tidak ada yang dia berikan untuk kita.
Menginginkan kesucian dan kemurnian dari pasangan kita karena hal itu menyenangkan
Allah dan melindungi pasangan kita. (kata Mr. Joshua Harris dalam bukunya I
Kissed Dating Goodbye, hal. 9).
Yuk, kita sama-sama belajar menjadi seperti
yang Tuhan kehendaki dalam kehidupan kita masing-masing dari sekarang, pas masih single ataupun sudah diijinkan Tuhan melangkah ke fase berikutnya. Hihiii.
GBU ^^
0 komentar :
Posting Komentar