Sabtu, 02 Juni 2012

Percakapan dengan DIA


Tengah malam,
Ketika semua orang terlelap dalam buai mimpi
Hanya ada aku dan engkau disini...dalam keheningan..dalam dimensi tak bernama
Saling menyelidik dan menjelajah hati.
Saling menunggu waktu yang tepat untuk berucap tentang segala resah yang tak menentu..
Detik demi detik berlalu
Aku tak tahan saling diam denganmu, tapi aku juga seolah menjadi kelu. Bagaimana mungkin mengucapkan ini semua kepadamu?
Bulir air mata tak lagi mengkristal, benteng pertahanan terakhirku akhirnya runtuh juga membasahi pipi.
“ Ada apa denganmu?aku ingin tahu.” Tanyamu dengan suara lembutmu yang selama ini tidak pernah gagal membuaiku.
Air mataku semakin menderas.
“ Aku membenci kesendirian.” Jawabku
“ Aku membenci saat-saat aku menjadi rapuh dan tak menemukan dirimu untuk menguatkan aku. Aku membenci jarak yang seakan tega memisahkan kita.” Nada suaraku timbul tenggelam diantara tangisan namun setiap kata itu masih mampu kuucapkan tanpa terbata.
“ Aku membenci malam-malam hampa untuk menunggumu tapi kau tak kunjung ada meski untuk sekedar menanyakan kabarku hari itu.”
Lama hening...
“ Bukankah aku selalu ada setiap detik, setiap menit, setiap waktu di sampingmu?” kau balik bertanya. Nada suaramu tetap tenang, tak ingin terseret dalam pusaran emosianalku.
“ Kau hanya membela diri.” Sahutku ketus sambil memalingkan muka lalu menarik selimut sampai sebatas muka. Mengacuhkanmu. 

Hening lagi.
Aku tahu kau belum beranjak pergi, masih menungguiku dengan sabar. Seperti malam-malam yang lalu ketika aku mulai merajuk dan melancarkan aksi mogok bicara, kau setia menemaniku sehingga seringkali aku sendiri yang kalah dan menyerah kemudian menyudahi aksi mogok bicaraku. Kau tahu apa, kapan, dan berapa lama waktu yang kubutuhkan untuk meredakan emosi, untuk mulai melunak dan mau berbicara kembali. Kau satu-satunya yang tahu semua tentang diriku.
Namun kali ini aku tidak mau mengalah padamu, tidak akan semudah malam-malam lalu untuk mengangkat bendera putih dan mengakui segala kebodohan.
Aku berusaha bertahan dalam diam selama yang aku bisa, hingga kelopak mataku semakin mengganjal berat tak bisa lagi terbuka. Aku tertidur, meninggalkanmu sendiri dalam diam.
Ah seharusnya aku memang tak melakukan ini,.

 

Menanti...dan...terus menanti...


Saya sedang menunggu janji Tuhan dalam hidup saya tergenapi. Duluuuu sekali saya berpikir betapa menyenangkannya ketika kita berjalan dengan memegang janji Tuhan. Seperti misalnya Abraham yang telah mendapat janji Tuhan bahwa dia akan menjadi bapa sejumlah besar bangsa ( Kejadian 17: 4). Dalam pandangan saya betapa enaknya menjadi Abraham karena dia tahu apa yang akan Tuhan kerjakan dalam hidupnya. Dia hanya harus menguatkan iman kepercayaannya kepada Tuhan, duduk bersantai sambil menunggu Tuhan menggenapi semua yang telah Ia janjikan. Sayangnya pandangan saya itu terbukti salah, dan saya baru menyadarinya belakangan ini ketika saya tahu Tuhan menjanjikan sesuatu kepada saya secara pribadi.  Ternyata menunggu itu tidak mudah, ada masa up and down, ada masanya saya secara pribadi mulai merasa janji itu sangat mustahil untuk digenapi.
Seperti sekarang ini, dalam ketiba-tibaan Tuhan membawa saya masuk ke dalam lorong gelap. Tanpa sepengetahuan dan seijin saya, karena tentu saja jika penawaran diajukan kepada saya apakah bersedia atau tidak melewati lorong gelap ini maka dengan pasti jawaban saya TIDAK MAU ^^. Pertanyaan pertama saya ketika mulai menapaki lorong gelap ini adalah, “mengapa saya harus berada disini?”. Janji Tuhan yang semula nampak begitu nyata perlahan-lahan berubah samar,semakin samar, kemudian makin tidak terlihat. Semangat saya untuk menunggu perlahan juga ikut menyusut drastis, dari yang menggebu-gebu sampai ke titik nol bahkan minus. Sudah tidak terhitung berapa kali saya berteriak-teriak kepada Tuhan berharap Tuhan turun untuk memeluk saya memberi kekuatan yang baru bahkan dengan memelas saya berharap dengan sangat agar Tuhan segera membawa saya keluar dari lorong ini segera. Pertanyaan-pertanyaan dalam hati sayapun jadi beranak pinak, tidak cukup mengapa tetapi juga kapan, apa, dimana, bagaimana.
Kapan lorong gelap ini akan berakhir? Kapan janji Tuhan akan tergenapi?
Apakah penantian ini akan sepadan hasilnya?
Dimana pertolongan Tuhan?
Bagaimana jika ternyata selama ini saya salah mengartikan janji Tuhan? bukankah saya hanya membuang-buang waktu untuk menanti?
Dan jawaban Tuhan terhadap saya adalah TIDAK ADA. Saya masih diharuskan untuk menunggu lagi dan lagi.
Jujur saya begitu ingin (tergoda) untuk menyerah sekarang, namun saya juga mengerti itu bukan pilihan bijaksana. Tuhan telah menciptakan saya sebagai pemenang, bukan pecundang yang kalah sebelum peperangan di mulai. Saya mencoba mengingat-ingat apa yang telah Tuhan lakukan sebelum  perjalanan dalam lorong gelap dimulai, bagaimana Tuhan terus meyakinkan saya tentang janjiNya bahkan dengan cara yang terlihat memaksa dan nyeleneh. Bagaimana Tuhan akhirnya membuat saya setuju mengorbankan mimpi-mimpi pribadi saya demi rencanaNya yang lebih besar dalam kehidupan saya di masa depan. Lalu apakah pantas jika detik ini saya menyerah hanya karena saat ini berhadapan dengan lorong gelap? 
Saya yakin pada masa itu Abraham juga mengalami masa up and down, dia tentunya bertanya-tanya kepada Tuhan bagaimana mungkin janji itu tergenapi namun Abraham tidak pernah kehilangan pengharapannya kepada Tuhan sampai akhirnya janji itu tergenapi.
Abraham menanti dengan sabar dan demikian ia memperoleh apa yang dijanjikan kepadanya. (Ibrani 6 : 15)
Memang, saya tidak pantas untuk menyerah sekarang dan saya tahu Tuhan tidak ingin melihat saya menyerah. Saya harus terus bertahan, karena pada akhirnya proses ini bukan sekedar bagaimana janji Tuhan tergenapi namun bagaimana saya dibentuk menjadi semakin serupa dalam pengenalan akan Tuhan kita Yesus Kristus.
Nb : untuk siapapun di luar saya (terutama sahabat saya) yang saat ini juga sedang menunggu janji Tuhan dalam kehidupan kita masing-masing tergenapi, apapun itu bentuknya...tetaplah menanti dengan sabar. Tuhan yang akan menguatkan kita dalam penantian.
Janji TUHAN adalah janji yang murni, bagaikan perak yang teruji, tujuh kali dimurnikan dalam dapur peleburan di tanah. Engkau, TUHAN, yang akan menepatinya..... ( Mazmur 12 : 7-8a)