Kemaren berhubung masih dalam rangka menghabiskan jatah cuti dan berhubung mulai
bingung karena tidak ada kesibukan yang berarti akhirnya iseng membongkar
kardus yang sebenarnya sudah di pak rapi. Dan ketemulah beberapa buku-buku lama
semacam diary begitu ^^, ada juga notes hadiah dari produk obat-obatan yang
hampir penuh dengan cerpen tanpa ujung cerita yang jelas (begitulah dulu
sewaktu masih kerja di tempat lama, sebelum dipromosikan Tuhan untuk masuk ke
pekerjaan yang sekarang aku punya banyak waktu luang untuk menulis di jam
kerja. Bukan karena aku nggak serius kerja tapi karena nggak ada hal yang harus
dilakukan selain menunggu pembeli datang :p).
Dan waktu
membolak-balik salah satu notes, ketemulah dengan tulisan yang ini. Lupa kapan
membuatnya karena nggak diberi tanggal tapi melihat dari tulisan sebelumnya sih
sekitar akhir tahun 2007 atau awal 2008-an.
-----
Di Sebuah
Persimpangan
Aku
seperti berada pada satu persimpangan jalan, dan tidak tahu kemana harus
menentukan langkah.
Aku ingin
memutar balik waktu berharap tidak perlu memberi label “masa lalu” pada satu
fase kehidupan yang baru saja aku tinggalkan. Aku ingin kembali ke sana namun
terlambat, karena pintu menuju kesana telah tertutup dan memang tidak ada jalan
masuk kembali ketika kita telah keluar melewatinya.
Dengan
ragu aku mencoba menengok pada jalan yang mengarah ke kanan, sepertinya jalan
yang nyaman untuk dilewati. Dari jauh sayup terdengar suara tawa yang tidak
henti, namun lama kelamaan berubah seperti suara orang yang meracau tak jelas
membuatku mengurungkan niat untuk memilih jalan ini.
Aku
berpikir mungkin jalan yang mengarah kiri lebih baik, ada jalan setapak yang
mudah dilalui untuk sampai kesana. Ah apa itu, rupanya banyak orang yang masuk
kesana akan dibuat terbang dengan sayap warna-warni dan seolah tidak pernah ada
yang terjatuh. Aku mulai tergiur, membayangkan bagaimana rasanya terbang dengan
sayap berwarna-warni. Namun aku menyadari ada yang janggal disitu, jalan ini
penuh kebisuan, semua asyik dengan sayap masing-masing tanpa peduli mengenai
keberadaanmu. Jadi akupun batal melewati
setapak ini.
Satu-satunya
yang tersisa adalah jalan yang membentang dihadapanku. Menatapnya saja aku
enggan, tidak ada tawa disana, namun juga bukan jalan penuh kebisuan. Aku
melihat setapak berbatu, melihat bukit terjal,memang ada taman indah di
seberang sana jauh dan amat sulit dijangkau. Hatiku miris, bisakah aku melewatinya?”
“Jangan takut, aku akan menemani perjalananmu.” ada suara hangat penuh wibawa menyambutku.
“ Mari!” ajakNya sambil mengulurkan
tangan untuk menggandengku. Aku ragu, hatiku menimbang-nimbang keputusan apa
yang hendak aku buat.
“Ku beritahu padamu, nak! Jalan ini memang tidak mudah, namun
percayalah padaKu,AKU akan membimbing langkahmu.”
Tanpa
pikir panjang aku menyambut uluran tanganNya. Aku tidak ingin membuang waktu
untuk memulai perjalanan yang baru lagi, dan untuk kali ini aku yakin tidak
salah menentukan arah. Aku bersama seorang yang TEPAT.
------
Tulisan
di atas nggak 100% sama dengan yang ada di notesku, ada beberapa bagian yang
kemudian aku edit karena kata-katanya kurang pas. Tulisan itu berhubungan
dengan sebuah peristiwa tragis yang menimpa hidupku empat tahun lalu (hahaa
terlalu dramatis), dan hampir pasti tidak jauh dari masalah hati juga namun
berbeda kisah dengan pemulihan hati yang aku sebut di postingan sebelumnya.
Sempat tawar menawar dengan Tuhan tentang keputusan yang harus dibuat,
pengennya nggak ada kisah sedih, pengennya kisah itu aja, pengennya kisah
seperti di kisah-kisah dogeng yang berakhir dengan kalimat akhirnya mereka hidup berbahagia selamanya. Jalan ke kanan atau ke
kiri itu adalah ide-ide “setengah gila” yang menurut pikiran manusia adalah
jalan keluar terbaik,untungnya tidak pernah aku laksanakan beneran karena aku
akhirnya memutuskan untuk berjalan di jalan yang Tuhan pilihkan. Sekarang,
empat tahun sudah berlalu..dan aku sama sekali tidak melihat ada kerugian
apapun karena keputusanku untuk memilih jalan yang Tuhan tawarkan. Aku justru
melihat kebaikan demi kebaikan, bahkan anugrah yang luar biasa.
Seandainya
aku hari itu nggak menyambut uluran tangan Tuhan, apa jadinya ya?
Mungkin
aku nggak akan pernah dipromosikan Tuhan untuk mendapatkan pekerjaan sebaik
hari ini.
Mungkin
aku nggak bisa melihat orang tuaku bahagia seperti sekarang karena aku aka nada
nan jauh di luar pulau jawa sono.
Mungkin
aku nggak akan berani naik sepeda motor hahaa..
1 Keputusan yang dibuat empat tahun lalu ternyata berdampak sampai hari ini...
“ Ada
jalan yang disangka lurus, tetapi ujungnya menuju maut.” (Amsal 25:33)