Jumat, 04 Januari 2013

Bongkar-bongkar File Lama : Ketika Hujan


Sore ini, di antara rintik hujan yang belum begitu lebat aku termenung di bangku taman. Langit yang mulanya cerah berubah gelap dalam seketika dan jarum-jarum air mulai merajam seluruh tubuhku. Perlahan namun pasti dingin dan basah menjalari sekujur dari ujung rambut hingga ujung kaki. Hanya orang setengah ‘gila’ yang membiarkan dirinya basah kuyup seperti ini. Aku tertawa kecut dalam hati menyadari fakta betapa diriku sendiri sudah mulai tidak waras.
Berulang kali aku melirik jam besar  yang terletak di sudut utara taman, sedikit lagi jarum panjang tepat berada di angka dua belas dan jarum pendek di angka lima namun tidak ada tanda-tanda dia akan datang. Sejujurnya aku ingin hari melompat ke hari esok, tak perlu ada sore ini bukan karena aku ingin menghindar dari kenyataan melainkan aku tidak sanggup harus berlalu dengan saling membelakangi. Seluruh indraku mati rasa, hampa, pedih sepertinya telah mengikis kepekaan seluruh reseptor pengantar impuls di tubuhku. Firasat yang sejak berminggu-minggu lalu  menghantui sepanjang pagi dan malam   sudah  menjelma menjadi suatu wujud nyata, tidak lagi samar seperti sebelumnya. Pertemuan kali ini memang tak akan mengubah apapun, termasuk keputusan yang kita buat setelah perdebatan panjang hingga berujung tengah malam kemarin.
Aku menghela nafas panjang mengumpulkan sisa ketegaran. Entah rasa cinta atau keras kepala yang membuatku tetap mematung di bangku taman ini. Nanar mataku tertuju pada seonggok genangan air keruh kecoklatan. Ku cari lukisan wajahnya di antara genangan air itu, berusaha mendeskripsikan bola mata yang bulat hitam, model rambut  yang ‘lucu’, kulitnya yang sawo matang, perawakannya yang tinggi kurus, cara tersenyumnya yang aneh. Segala tentang dia nyaris biasa saja bukan tipe ‘malaikat sempurna’ dan aku tak habis pikir atau nampaknya  aku telah lama lupa apa, mengapa, dan bagaimana dulu  bisa jatuh hati padanya. Sekarang aku mulai  berfikir untuk membencinya, untuk mengatakan ‘aku tidak suka’ tetapi ah itupun juga sangat sulit. Bagaimana mungkin membenci orang yang aku suka? bagaimana melenyapkan memori indah yang sudah terekam dalam pita permanen di otakku.
Hening. Lama aku bergulat dengan hati dan hujan. Aku sadar kemudian ternyata aku telah terlalu lama menunggu tanpa kepastian. Hujan telah membuatnya mengurungkan niat untuk datang atau barangkali salam perpisahan ini memang tak perlu diucapkan, cukup dipahami menggunakan hati. Terlalu  banyak kata yang terucap hanya akan membuat luka baru bermunculan.  Toh tidak ada yang salah dengan rasa, pun ketika kita saling dipertemukan dan jatuh cinta di atas perbedaan. Sekarang, kendati semua tidak berujung sempurna aku tetap belajar mempercayai hati, kelak dia (hati) pasti menuntun masing-masing dari kita  pada yang terbaik karena dia selalu tahu kemana akan berlabuh.  Kesadaran baru perlahan menggantikan hampa, ada rasa lega telah melepaskan dia, memberi ruang untuk dia bisa menemukan kebahagiaan bukan hanya untuk dirinya sendiri atau untuk kita berdua  seperti yang selama ini terjadi melainkan untuk mereka yang menyayanginya, untuk keluarga kita masing-masing.  
Air mataku mulai berjatuhan, merembes di kedua pipi bersamaan dengan air hujan, dan mendadak aku mensyukuri hujan ini.®





0 komentar :

Posting Komentar