Sore ini, di antara rintik hujan yang belum begitu lebat aku
termenung di bangku taman. Langit yang mulanya cerah berubah gelap dalam
seketika dan jarum-jarum air mulai merajam seluruh tubuhku. Perlahan namun
pasti dingin dan basah menjalari sekujur dari ujung rambut hingga ujung kaki.
Hanya orang setengah ‘gila’ yang membiarkan dirinya basah kuyup seperti ini. Aku
tertawa kecut dalam hati menyadari fakta betapa diriku sendiri sudah mulai
tidak waras.
Berulang kali aku melirik jam besar
yang terletak di sudut utara taman, sedikit lagi jarum panjang tepat
berada di angka dua belas dan jarum pendek di angka lima namun tidak ada
tanda-tanda dia akan datang. Sejujurnya aku ingin hari melompat ke hari esok,
tak perlu ada sore ini bukan karena aku ingin menghindar dari kenyataan
melainkan aku tidak sanggup harus berlalu dengan saling membelakangi. Seluruh
indraku mati rasa, hampa, pedih sepertinya telah mengikis kepekaan seluruh
reseptor pengantar impuls di tubuhku. Firasat yang sejak berminggu-minggu
lalu menghantui sepanjang pagi dan malam
sudah menjelma menjadi suatu wujud nyata, tidak lagi
samar seperti sebelumnya. Pertemuan kali ini memang tak akan mengubah apapun,
termasuk keputusan yang kita buat setelah perdebatan panjang hingga berujung
tengah malam kemarin.
Aku menghela nafas panjang mengumpulkan sisa ketegaran. Entah rasa
cinta atau keras kepala yang membuatku tetap mematung di bangku taman ini. Nanar
mataku tertuju pada seonggok genangan air keruh kecoklatan. Ku cari lukisan wajahnya
di antara genangan air itu, berusaha mendeskripsikan bola mata yang bulat
hitam, model rambut yang ‘lucu’,
kulitnya yang sawo matang, perawakannya yang tinggi kurus, cara tersenyumnya
yang aneh. Segala tentang dia nyaris biasa saja bukan tipe ‘malaikat sempurna’
dan aku tak habis pikir atau nampaknya aku telah lama lupa apa, mengapa, dan
bagaimana dulu bisa jatuh hati padanya. Sekarang
aku mulai berfikir untuk membencinya,
untuk mengatakan ‘aku tidak suka’ tetapi ah
itupun juga sangat sulit. Bagaimana mungkin membenci orang yang aku suka?
bagaimana melenyapkan memori indah yang sudah terekam dalam pita permanen di
otakku.
Hening. Lama aku bergulat dengan hati dan hujan. Aku sadar
kemudian ternyata aku telah terlalu lama menunggu tanpa kepastian. Hujan telah membuatnya
mengurungkan niat untuk datang atau barangkali salam perpisahan ini memang tak
perlu diucapkan, cukup dipahami menggunakan hati. Terlalu banyak kata yang terucap hanya akan membuat
luka baru bermunculan. Toh tidak ada yang salah dengan rasa,
pun ketika kita saling dipertemukan dan jatuh cinta di atas perbedaan.
Sekarang, kendati semua tidak berujung sempurna aku tetap belajar mempercayai
hati, kelak dia (hati) pasti menuntun masing-masing dari kita pada yang terbaik karena dia selalu tahu
kemana akan berlabuh. Kesadaran baru
perlahan menggantikan hampa, ada rasa lega telah melepaskan dia, memberi ruang
untuk dia bisa menemukan kebahagiaan bukan hanya untuk dirinya sendiri atau
untuk kita berdua seperti yang selama
ini terjadi melainkan untuk mereka yang menyayanginya, untuk keluarga kita
masing-masing.
Air mataku mulai berjatuhan, merembes di kedua pipi
bersamaan dengan air hujan, dan mendadak aku mensyukuri hujan ini.®
0 komentar :
Posting Komentar