Bulan kemaren di suatu pagi menjelang siang,
bersama seorang teman aku sedang menunggu giliran untuk mengambil berkas. Kalau
tidak salah aku ada di urutan kedua atau ketiga sehingga kira-kira harus
menunggu selama 30 menit untuk sampai ke giliran kami. Selang berapa lama,
seorang bapak keluar dari ruangan kantor lalu menghampiri si mas yang sedang
sama mengantrinya denganku. Nah ternyata si mas tadi meminta tolong kepada si
bapak yang memang berkantor disitu untuk mendahulukan berkas miliknya, jadilah dalam
waktu tak lebih dari 30 menit berkas sudah ada di tangan sementara aku yang
mengantri lebih dulu harus lebih lama duduk di ruang tunggu.
Kejadian seperti
itu sudah terlalu sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, kadang aku
berada dalam posisi menjadi orang yang merasa diperlakukan tidak adil karena
orang-orang lain yang memanfaatkan koneksi atau pertemanan mereka untuk
memuluskan kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan orang lain yang memiliki
kepentingan sama. Kadang juga berada di posisi menjadi orang yang “dimintai”
tolong, ingin menolak namun tidak mampu.
Di sisa waktu
menunggu mengambil berkas, meskipun kemudian menjadi agak dongkol karena
kejadian si mas yang faktanya bisa mendapatkan berkasnya tanpa mengantri lama
aku mulai memikirkan kegiatan antri mengantri itu. Seandainya saja orang
pertama dalam antrian membutuhkan waktu 10 menit untuk mendapatkan berkasnya,
maka aku sebagai orang kedua akan membutuhkan waktu lagi 10 menit lebih lama dari
orang pertama atau kira-kira totalnya 20 menit. Nah berhubung si mas yang ada
di antrian keempat atau kelima tadi memanfaatkan koneksinya maka dia sudah
membuat orang pertama menunggu bukan hanya menunggu 10 menit saja, bisa jadi 10
menit + 10 menit lagi, demikian seterusnya. Nah, pernahkan terpikirkan terkadang cara
seperti itu merugikan orang lain? bagaimana seadainya karena seseorang yang
memotong antrian seorang yang lain harus menunggu 10 menit lebih lama lalu
orang tersebut terhambat perjalanannya dan ketinggalan kereta atau pesawat.
Bukankah itu merugikan?
Kejadian antri
mengantri itu hampir mirip dengan apa yang terjadi dalam kehidupan rohani
anak-anak Tuhan, termasuk aku ^^. Ada beberapa hal yang mengharuskan kita ada
dalam status menunggu. Sepertinya Tuhan menjanjikan sesuatu dan kita begitu
bersemangat di awal tetapi semakin ditunggu semakin tidak ada yang terjadi,
semakin membosankan dan lama. Dalam hati kita mulai memikir-mikirkan cara
bagaimana agar apa yang Tuhan janjikan segera terjadi (bukan terjadi pada
waktunya Tuhan melainkan dalam waktu yang kita inginkan). Kita mulai mencoba
melakukan A, melakukan B tanpa konsultasi ke Tuhan atau parahnya melakukan A, B
dengan analisa-analisa pribadi. Jika aku melakukan A maka akan terbuka jalan
yang seperti ini..ini..dan ini. Begitu kita sudah melakukan A, ehh ternyata
hasil akhirnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka akan kecewalah kita
dan menyalah-nyalahkan Tuhan, mempertanyakan mengapa DIA tidak mengarahkan kita
(padahal kita sendiri tidak berkonsultasi
dengan Tuhan dari awal). Atau sesuatu kemudian terjadi tetapi tidak
mendatangkan berkat pada kita karena kita mendahului waktu Tuhan. Sebagai
contoh Kisah Raja Saul dalam 1 Samuel 13 : 1-14, Raja Saul tidak sabar menunggu
kedatangan Samuel sehingga ia mempersembahkan korban bakaran sendiri. Akibat
dari perbuatannya kerajaan yang semestinya akan dikokohkan Tuhan untuk
selamanya tidak terjadi.
Jika dari
hal kecil seperti ketidaksabaran dalam
mengantri saja bisa merugikan untuk orang lain, apalagi untuk ketidaksabaran
kita akan hal-hal besar dalam kehidupan kita. So, apapun yang sedang kalian
hadapi saat ini dan apa janji Tuhan yang sedang kita tunggu dalm kehidupan kita
masing-masing, marilah kita terus menantikannya dengan kesabaran, dengan tidak
berusaha membuka-buka jalan dengan cara kita sendiri seolah kita sedang
mendikte Tuhan untuk membuat alur kehidpan kita berjalan seperti yang kita mau.
Lewat kesabaran kita sebenarnya bukan hanya belajar untuk mempercayakan
sepenuhnya kehidupan kita ke tangan Tuhan, namun juga belajar untuk setia
kepada Tuhan lewat perkara-perkara kecil, belajar menikmati setiap proses. Jika
untuk hal kecil saja kita tidak sabar, lalu membuat kita terbiasa mengambil
jalan pintas bagaimana dengan generasi berikutnya yang Tuhan titipkan kepada
kita (entah itu adik, anak, saudara dll) mereka melihat kita dan menjadikan
kita panutan. Apakah kita mau generasi yang Tuhan titipkan menjadi generasi
“serba instan”?
0 komentar :
Posting Komentar