Jumat, 04 Januari 2013

Mengantri = Menunggu


Bulan kemaren di suatu pagi menjelang siang, bersama seorang teman aku sedang menunggu giliran untuk mengambil berkas. Kalau tidak salah aku ada di urutan kedua atau ketiga sehingga kira-kira harus menunggu selama 30 menit untuk sampai ke giliran kami. Selang berapa lama, seorang bapak keluar dari ruangan kantor lalu menghampiri si mas yang sedang sama mengantrinya denganku. Nah ternyata si mas tadi meminta tolong kepada si bapak yang memang berkantor disitu untuk mendahulukan berkas miliknya, jadilah dalam waktu tak lebih dari 30 menit berkas sudah ada di tangan sementara aku yang mengantri lebih dulu harus lebih lama duduk di ruang tunggu.
Kejadian seperti itu sudah terlalu sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, kadang aku berada dalam posisi menjadi orang yang merasa diperlakukan tidak adil karena orang-orang lain yang memanfaatkan koneksi atau pertemanan mereka untuk memuluskan kepentingan mereka sendiri dan mengabaikan orang lain yang memiliki kepentingan sama. Kadang juga berada di posisi menjadi orang yang “dimintai” tolong, ingin menolak namun tidak mampu.
Di sisa waktu menunggu mengambil berkas, meskipun kemudian menjadi agak dongkol karena kejadian si mas yang faktanya bisa mendapatkan berkasnya tanpa mengantri lama aku mulai memikirkan kegiatan antri mengantri itu. Seandainya saja orang pertama dalam antrian membutuhkan waktu 10 menit untuk mendapatkan berkasnya, maka aku sebagai orang kedua akan membutuhkan waktu lagi 10 menit lebih lama dari orang pertama atau kira-kira totalnya 20 menit. Nah berhubung si mas yang ada di antrian keempat atau kelima tadi memanfaatkan koneksinya maka dia sudah membuat orang pertama menunggu bukan hanya menunggu 10 menit saja, bisa jadi 10 menit + 10 menit lagi, demikian seterusnya.  Nah, pernahkan terpikirkan terkadang cara seperti itu merugikan orang lain? bagaimana seadainya karena seseorang yang memotong antrian seorang yang lain harus menunggu 10 menit lebih lama lalu orang tersebut terhambat perjalanannya dan ketinggalan kereta atau pesawat. Bukankah itu merugikan?
Kejadian antri mengantri itu hampir mirip dengan apa yang terjadi dalam kehidupan rohani anak-anak Tuhan, termasuk aku ^^. Ada beberapa hal yang mengharuskan kita ada dalam status menunggu. Sepertinya Tuhan menjanjikan sesuatu dan kita begitu bersemangat di awal tetapi semakin ditunggu semakin tidak ada yang terjadi, semakin membosankan dan lama. Dalam hati kita mulai memikir-mikirkan cara bagaimana agar apa yang Tuhan janjikan segera terjadi (bukan terjadi pada waktunya Tuhan melainkan dalam waktu yang kita inginkan). Kita mulai mencoba melakukan A, melakukan B tanpa konsultasi ke Tuhan atau parahnya melakukan A, B dengan analisa-analisa pribadi. Jika aku melakukan A maka akan terbuka jalan yang seperti ini..ini..dan ini. Begitu kita sudah melakukan A, ehh ternyata hasil akhirnya tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka akan kecewalah kita dan menyalah-nyalahkan Tuhan, mempertanyakan mengapa DIA tidak mengarahkan kita (padahal  kita sendiri tidak berkonsultasi dengan Tuhan dari awal). Atau sesuatu kemudian terjadi tetapi tidak mendatangkan berkat pada kita karena kita mendahului waktu Tuhan. Sebagai contoh Kisah Raja Saul dalam 1 Samuel 13 : 1-14, Raja Saul tidak sabar menunggu kedatangan Samuel sehingga ia mempersembahkan korban bakaran sendiri. Akibat dari perbuatannya kerajaan yang semestinya akan dikokohkan Tuhan untuk selamanya tidak terjadi.
Jika dari hal  kecil seperti ketidaksabaran dalam mengantri saja bisa merugikan untuk orang lain, apalagi untuk ketidaksabaran kita akan hal-hal besar dalam kehidupan kita. So, apapun yang sedang kalian hadapi saat ini dan apa janji Tuhan yang sedang kita tunggu dalm kehidupan kita masing-masing, marilah kita terus menantikannya dengan kesabaran, dengan tidak berusaha membuka-buka jalan dengan cara kita sendiri seolah kita sedang mendikte Tuhan untuk membuat alur kehidpan kita berjalan seperti yang kita mau. Lewat kesabaran kita sebenarnya bukan hanya belajar untuk mempercayakan sepenuhnya kehidupan kita ke tangan Tuhan, namun juga belajar untuk setia kepada Tuhan lewat perkara-perkara kecil, belajar menikmati setiap proses. Jika untuk hal kecil saja kita tidak sabar, lalu membuat kita terbiasa mengambil jalan pintas bagaimana dengan generasi berikutnya yang Tuhan titipkan kepada kita (entah itu adik, anak, saudara dll) mereka melihat kita dan menjadikan kita panutan. Apakah kita mau generasi yang Tuhan titipkan menjadi generasi “serba instan”?


0 komentar :

Posting Komentar